Filosofi "Suami sebagai raja"

Filosofi “Suami sebagai raja” masih dipegang oleh sebagian keluarga, terutama dalam masyarakat yang menganut nilai-nilai patriarki. Namun, interpretasi yang salah terhadap filosofi ini telah menciptakan ketidakseimbangan dalam keluarga. Banyak suami yang memahami filosofi ini sebagai hak untuk dilayani, sementara istri diharapkan mengurus semua urusan rumah tangga dan pengasuhan anak. Akibatnya, suami sering kali enggan terlibat dalam urusan rumah tangga atau pendidikan anak, merasa bahwa hal itu “merendahkan derajatnya sebagai seorang raja”, suami yang ikut terlibat dalam urusan domestik rumah tangga sering dicemooh oleh lingkungannya dengan metafora “bendera berkibar di dapur”. Kondisi ini diperparah oleh kurangnya pemahaman tentang pentingnya keterlibatan suami dalam keluarga dan pengasuhan anak.

Minimnya keterlibatan suami dalam pendidikan anak adalah salah satu dampak negatif dari kesalahpahaman filosofi “suami sebagai raja”. Banyak suami yang menganggap bahwa mengasuh anak adalah tugas istri, sehingga mereka tidak terlibat dalam proses pendidikan anak. Padahal, penelitian dari Harvard University menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki Ayah yang terlibat aktif dalam pengasuhan cenderung lebih percaya diri, memiliki prestasi akademik yang lebih baik, dan lebih mampu mengelola emosi (baca di mediaindonesia.com). Ketika suami tidak terlibat, anak-anak kehilangan figur yang penting dalam perkembangan emosional dan sosial mereka. Selain itu, anak-anak mungkin menginternalisasi paradigma sebagai laki-laki, bahwa laki-laki tidak perlu terlibat dalam urusan domestik atau pengasuhan anak.

Selain itu, beban ganda yang ditanggung istri sebagai pengurus rumah tangga, pencari nafkah tambahan, dan pengasuh utama anak sering kali menyebabkan kelelahan fisik dan emosional. Data menunjukkan bahwa istri mengalami gejala depresi, dengan beban domestik yang tidak seimbang sebagai salah satu faktor utama (baca halodoc.com). Ketika suami tidak menghargai kontribusi istri, istri mungkin merasa tidak didukung, yang dapat memperburuk kesehatan mentalnya. Kondisi ini diperparah oleh kurangnya komunikasi dan dukungan emosional.

Banyak suami yang merasa bahwa tugas mereka hanyalah mencari nafkah, sementara semua urusan domestik dan pengasuhan anak adalah tanggung jawab istri. Sikap ini menciptakan ketergantungan pada istri dan mengurangi rasa tanggung jawab suami sebagai kepala keluarga. Data menunjukkan bahwa suami jarang membantu istri dalam urusan rumah tangga, karena banyak suami masih menganut kepercayaan stereotip tentang tanggung jawab rumah tangga (baca tempo.co).

Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah teladan terbaik dalam mempraktikkan peran sebagai suami. Beliau terlibat aktif dalam urusan rumah tangga, seperti menjahit baju dan memperbaiki sandalnya. Aisyah juga bercerita “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membantu pekerjaan keluarganya di rumah. Jika telah tiba waktu shalat, beliau berdiri dan segera menuju shalat.” (HR. Bukhari, no. 6039). Nabi Muhammad juga sangat dekat dengan anak-anak dan cucunya, sering bermain dengan mereka dan menunjukkan kasih sayang yang besar. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya” (HR. Tirmidzi). Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati dalam keluarga bukanlah tentang kekuasaan yang bersembunyi di balik filosofi “suami adalah raja”, melainkan tentang kasih sayang, kerendahan hati, dan tanggung jawab.

Suami perlu memahami bahwa membantu istri dalam urusan domestik dan pengasuhan anak bukanlah hal yang merendahkan derajat, melainkan bentuk tanggung jawab dan kasih sayang. Dalam Islam, suami dan istri adalah mitra yang saling melengkapi, sebagaimana firman Allah dalam QS. Ar-Rum: 21, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” Seorang ayah mesti meningkatkan kesadaran tentang pentingnya peran mereka dalam pengasuhan anak. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam  memberikan contoh nyata. Keterlibatan suami tidak hanya bermanfaat bagi anak, tetapi juga memperkuat ikatan emosional dalam keluarga.

Filosofi “suami sebagai raja” memiliki potensi untuk membangun keluarga yang harmonis jika diinterpretasikan dengan benar bahwa suami bertanggungjawab penuh, mengayomi, melindungi, menjadi contoh dan pemimpin yang bijak . Namun, kesalahpahaman terhadap filosofi ini telah menimbulkan dampak negatif, seperti minimnya keterlibatan ayah dalam pendidikan anak, beban mental yang berat pada istri, dan sikap malas pada suami. Dengan melihat keteladanan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ajaran Islam tentang peran seorang ayah, kita dapat menciptakan keluarga yang lebih seimbang, harmonis, dan lebih baik. Keterlibatan suami dalam urusan pengasuhan anak bukanlah tanda kelemahan, melainkan bentuk kepemimpinan sejati yang penuh tanggung jawab dan kasih sayang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *