Reaktansi dan Perubahan Sekolah Dasar Islam

Perubahan merupakan suatu keniscayaan dalam dinamika lembaga dan organisasi, termasuk di dalamnya institusi pendidikan dasar Islam. Upaya untuk mengimplementasikan inovasi dan perbaikan di lingkungan sekolah seringkali dihadapkan pada berbagai bentuk resistensi. Di antara beragam hambatan tersebut, reaktansi menonjol sebagai salah satu fenomena psikologis yang paling signifikan, namun kerap kali kurang dipahami secara mendalam. Reaktansi didefinisikan sebagai reaksi aversif yang timbul ketika seorang individu merasakan adanya ancaman atau pembatasan terhadap kebebasan dan otonominya, yang secara umum bermanifestasi sebagai penolakan terhadap inisiatif perubahan yang diusulkan. Pemahaman komprehensif dan strategi yang tepat untuk mengatasi reaktansi adalah esensial bagi keberhasilan manajemen perubahan yang efektif, demi terwujudnya tujuan pendidikan.

 

Fakta Sosial: Manifestasi Reaktansi dalam Konteks Sekolah Islam

Secara sosiologis, reaktansi termanifestasi dalam berbagai bentuk di lingkungan sekolah Islam. Ketika sebuah inovasi kurikulum baru yang bertujuan memperkuat nilai-nilai keislaman, atau metode pengajaran yang lebih adaptif terhadap perkembangan zaman, diperkenalkan, tenaga kependidikan mungkin menunjukkan resistensi. Hal ini dapat terlihat melalui keluhan verbal, penundaan sistematis dalam implementasi, atau bahkan penolakan eksplisit untuk berpartisipasi dalam program pelatihan yang relevan. Fenomena ini bukan semata-mata disebabkan oleh ketidakmampuan atau kurangnya pemahaman, melainkan lebih karena persepsi bahwa metode pengajaran yang telah mapan dan nyaman sedang dipaksakan untuk diubah.

Contoh historis yang relevan dapat ditemukan pada masa awal Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Ketika beliau memperkenalkan ajaran tauhid, banyak kaum Quraisy, termasuk kerabat dekat beliau, menunjukkan reaktansi. Mereka merasa tradisi nenek moyang dan kebebasan menyembah berhala terancam, sehingga memicu penolakan keras, bahkan hingga penganiayaan. Ini menunjukkan bahwa ancaman terhadap status quo dan otonomi keyakinan dapat memicu reaktansi yang kuat.

Studi kasus menunjukkan bahwa reaktansi juga sering muncul ketika teknologi baru diwajibkan untuk diintegrasikan dalam proses pembelajaran atau administrasi sekolah. Tenaga pendidik yang telah terbiasa dengan metode manual atau teknologi lama mungkin merasa terbebani dan menunjukkan penolakan, meskipun teknologi tersebut menjanjikan peningkatan efisiensi yang signifikan dalam pengelolaan sekolah dan bahkan dapat membantu penyebaran ilmu menjadi lebih luas. Bentuk penolakan ini dapat mencakup komentar sinis, tindakan sabotase kecil, atau bahkan absensi dari sesi pelatihan, yang semuanya merupakan indikator kuat dari reaktansi terhadap ancaman kebebasan dalam memilih alat kerja mereka.

Dinamika sosial internal sekolah turut berperan dalam memperkuat fenomena reaktansi. Ketika satu atau dua individu menunjukkan resistensi yang kuat, hal ini dapat bersifat menular dan menciptakan “zona resistensi” yang meluas di antara kelompok tenaga pendidik. Ketidakpastian terhadap hal yang belum diketahui, kenyamanan dengan status quo, dan persepsi hilangnya kendali atas praktik kerja mereka, menjadi faktor pendorong reaktansi kolektif yang sulit diatasi tanpa intervensi yang terencana dan tepat sasaran.

Perlawanan ini tidak selalu disuarakan secara eksplisit. Kadang-kadang, reaktansi muncul dalam bentuk pasif-agresif, seperti kepatuhan minimal terhadap kebijakan baru, atau penundaan yang disengaja dalam pelaksanaannya. Kondisi ini dapat menimbulkan frustrasi yang signifikan bagi pihak manajemen dan menghambat kemajuan sekolah secara keseluruhan, mengingat inovasi tidak dapat berakar dan berkembang secara optimal dalam lingkungan yang diwarnai penolakan terselubung.

Oleh karena itu, reaktansi bukan sekadar masalah individual, melainkan sebuah fenomena sosial kompleks yang berpotensi merusak iklim organisasi sekolah Islam. Apabila reaktansi tidak diakui dan ditangani secara proaktif, ia dapat mengikis fondasi kepercayaan, menciptakan polarisasi antara manajemen dan SDM di bawahnya serta secara substansial menghambat upaya kolektif untuk mencapai tujuan pendidikan yang lebih baik.

Fakta Akademis: Landasan Teoritis Reaktansi

Dari perspektif akademis, konsep reaktansi pertama kali diperkenalkan oleh psikolog Jack W. Brehm pada tahun 1966 dalam teorinya tentang reaktansi psikologis. Brehm mengemukakan bahwa ketika individu merasakan kebebasan atau otonomi kerjanya terancam atau dihilangkan, mereka akan termotivasi secara intrinsik untuk memulihkan kebebasan tersebut. Motivasi ini dapat termanifestasi dalam berbagai cara, termasuk penolakan langsung terhadap pengaruh, melakukan perilaku yang dilarang, atau bahkan mengubah sikap mereka untuk menjadi lebih positif terhadap opsi yang sebelumnya tidak disukai.

Pemicu utama reaktansi adalah persepsi ancaman terhadap kebebasan. Dalam konteks sekolah Islam, ini bisa berupa kebijakan yang dianggap membatasi otonomi tenaga pendidik dalam merancang pembelajaran yang sesuai dengan ijtihad mereka, perubahan struktur organisasi yang mengurangi kendali staf administrasi, atau instruksi yang terasa memaksa tanpa disertai penjelasan yang memadai. Semakin besar tingkat ancaman yang dipersepsikan, semakin kuat pula respons reaktansi yang muncul dari individu atau kelompok.

Teori reaktansi memiliki relevansi yang sangat tinggi dengan teori manajemen perubahan dan psikologi organisasi. Model perubahan klasik seperti Model Perubahan Lewin (Unfreeze-Change-Refreeze) secara implisit mengakui adanya resistensi terhadap perubahan. Reaktansi adalah salah satu bentuk resistensi yang paling mendasar, berakar pada kebutuhan psikologis akan otonomi dan kendali. Oleh karena itu, fase “unfreeze” dalam model Lewin harus secara cermat mempertimbangkan potensi reaktansi dengan mempersiapkan individu secara psikologis untuk menerima perubahan, dengan pendekatan yang mengedepankan hikmah.

Penelitian juga menunjukkan bahwa perbedaan individu memengaruhi tingkat reaktansi. Individu dengan kebutuhan otonomi yang tinggi, atau mereka yang memiliki pengalaman negatif dengan inisiatif perubahan di masa lalu, cenderung lebih rentan terhadap reaktansi. Sebaliknya, individu yang lebih fleksibel, memiliki toleransi ambiguitas yang tinggi, atau memiliki tingkat kepercayaan yang kuat terhadap kepemimpinan, mungkin menunjukkan reaktansi yang lebih rendah. Hal ini menyoroti pentingnya pendekatan yang disesuaikan dalam strategi manajemen perubahan, dengan memahami fitrah dan karakter individu.

Pentingnya komunikasi yang efektif dan partisipasi aktif dalam memitigasi reaktansi juga ditekankan dalam literatur akademis. Ketika individu merasa dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, atau setidaknya diberikan penjelasan yang transparan dan rasional mengenai alasan di balik perubahan, persepsi ancaman terhadap kebebasan mereka akan berkurang secara signifikan. Prinsip ini sejalan dengan teori difusi inovasi, di mana adopsi inovasi lebih mungkin terjadi jika individu merasa memiliki kepemilikan dan pemahaman yang jelas mengenai manfaat dan relevansi inovasi tersebut, serta selaras dengan prinsip syura dalam Islam.

Narasi Akademis dan Praktis: Strategi Mengatasi Reaktansi

Secara praktis, mengatasi reaktansi memerlukan pendekatan yang strategis, terencana, dan bijaksana. Pertama, libatkan seluruh pemangku kepentingan sejak tahap awal perencanaan. Daripada menerapkan perubahan secara top-down, berikan kesempatan kepada tenaga pendidik untuk berpartisipasi aktif dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Ketika mereka merasa memiliki suara dan kontribusi yang berarti, persepsi ancaman terhadap kebebasan akan berkurang, dan mereka akan lebih cenderung untuk mendukung serta mengadopsi perubahan. Pendekatan ini mencerminkan nilai musyawarah dalam setiap pengambilan keputusan, sebagaimana dicontohkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam berbagai kesempatan, misalnya saat menyusun strategi Perang Badar dan Perang Ahzab, di mana beliau melibatkan para sahabat dalam pengambilan keputusan penting.

Kedua, komunikasikan alasan di balik perubahan secara transparan dan dengan pendekatan yang empatik. Jelaskan secara jelas mengapa perubahan itu diperlukan, apa manfaat jangka panjangnya bagi siswa dan sekolah, serta bagaimana hal itu akan mendukung tujuan pendidikan bersama. Gunakan bahasa yang mudah dipahami dan hindari penggunaan jargon yang rumit. Penting juga untuk secara terbuka mengakui dan memvalidasi kekhawatiran serta ketidaknyamanan yang mungkin dirasakan oleh staf, menunjukkan bahwa pihak manajemen memahami perspektif mereka. Sampaikan pula hikmah atau kebaikan yang terkandung dalam perubahan tersebut, sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga menyampaikan hikmah di balik setiap perubahan yang dibawa.

Ketiga, berikan pilihan dan otonomi sejauh mungkin dalam kerangka perubahan. Jika memungkinkan, tawarkan beberapa opsi dalam implementasi perubahan, atau berikan kebebasan kepada tenaga pendidik untuk menyesuaikan detail-detail kecil agar sesuai dengan gaya mengajar atau praktik kerja mereka, selama tidak menyimpang dari koridor dan prinsip perubahan. Bahkan pilihan yang kecil sekalipun dapat secara signifikan mengurangi reaktansi, karena individu merasa masih memiliki tingkat kendali atas situasi dan tidak sepenuhnya dipaksa. Ini sejalan dengan fleksibilitas yang ditunjukkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam beberapa aspek kehidupan, selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam, seperti pilihan para sahabat yang hendak menuju Bani Khuraizoh ada sahabat yang shalat ashar setelah sampai dan ada sahabat yang shalat ashar di Jalan.

Keempat, implementasikan perubahan secara bertahap dan sediakan dukungan yang memadai secara berkelanjutan. Perubahan besar sebaiknya dipecah menjadi langkah-langkah kecil yang lebih mudah dicerna dan dikelola. Sediakan program pelatihan yang berkelanjutan, bimbingan individual atau kelompok, serta sumber daya yang diperlukan untuk membantu staf beradaptasi dengan perubahan. Pendekatan ini mengurangi rasa kewalahan dan membangun kepercayaan diri, yang pada gilirannya secara efektif mengurangi reaktansi, serta menumbuhkan konsistensi dalam berproses. Proses pendidikan yang dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga bersifat bertahap, tidak langsung membebankan seluruh syariat sekaligus, melainkan sesuai dengan kesiapan umat.

Kelima, peran kepemimpinan katalis sangat krusial dalam proses ini. Pemimpin sekolah yang mengadopsi pendekatan “keras kepala dan bijaksana” adalah mereka yang gigih dalam mempertahankan visi perubahan namun bijaksana dalam pendekatannya. Mereka tidak hanya memberikan perintah, tetapi juga aktif mendengarkan masukan, memfasilitasi dialog konstruktif, dan membangun konsensus di antara seluruh anggota komunitas sekolah. Pemimpin yang efektif akan bertindak sebagai jembatan yang kuat antara visi strategis perubahan dan realitas implementasi di lapangan, membantu staf melewati fase ketidaknyamanan awal dan secara progresif melihat nilai serta manfaat dari inovasi yang diterapkan. Ini adalah keteladanan yang patut dicontoh, sebagaimana kepemimpinan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang selalu menjadi teladan terbaik dalam menghadapi resistensi dan membawa perubahan besar di masyarakat.

Mengatasi reaktansi bukanlah berarti menghindari perubahan, melainkan mengelolanya dengan kecerdasan dan pemahaman psikologis yang mendalam, yang juga selaras dengan nilai-nilai Islam. Dengan memahami akar psikologis dari penolakan dan menerapkan strategi yang berempati, partisipatif, serta didukung oleh kepemimpinan yang kuat, sekolah Islam dapat menciptakan lingkungan di mana perubahan dipandang sebagai peluang untuk tumbuh dan berkembang, bukan sebagai ancaman yang harus dilawan. Inilah esensi dari manajemen sekolah yang adaptif, progresif, dan berorientasi pada tujuan, yang pada akhirnya akan menghasilkan peningkatan kualitas pendidikan yang berkelanjutan dan komprehensif.